Hidup di dunia
bagi seorang mukmin merupakan daftar panjang menghadapi aneka ujian yang datang
dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Terkadang hidup
diwarnai dengan kondisi suka dan terkadang dengan kondisi duka. Seorang mukmin
tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Allah ketika sedang diuji dengan
kesulitan hidup. Ia selalu berusaha untuk tetap bersabar manakala ujian duka
melanda hidupnya. Sebaliknya seorang mukmin tidak bakal lupa bersyukur tatkala
sedang diuji dengan karunia kenikmatan dari Allah. Demikian indah dan bagusnya
respon seorang mukmin menghadapi aneka ujian hidup sehingga Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam mengungkapkan ketakjuban beliau.
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman!
Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh
siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia
bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia
bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)
Bahkan Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita agar memberikan respon
yang sesuai untuk setiap kondisi ujian yang sedang datang kepada diri seorang
mukmin. Dalam hadits di bawah ini sekurangnya Nabi mengajarkan tiga jenis
ucapan berbeda untuk merespon tiga jenis kondisi ujian yang menghadang seorang
mukmin dalam hidupnya di dunia.
”Barangsiapa dikaruniai Allah
kenikmatan hendaklah dia bertahmid (memuji) kepada Allah, dan barangsiapa
merasa diperlambat rezekinya hendaklah dia beristighfar kepada Allah.
Barangsiapa dilanda kesusahan dalam suatu masalah hendaklah mengucapkan
"Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya
dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha
Agung)" (HR. Al-Baihaqi dan Ar-Rabii')
·
Saat
menghadapi kondisi memperoleh kenikmatan.
Dalam kondisi
seperti ini seorang mukmin diharuskan mengucapkan pujian bagi Allah, yaitu
mengucapkan Alhamdulillah. Sebab dengan dia mengucapkan kalimat yang menegaskan
kembali bahwa segala karunia berasal hanya dari Allah, maka berarti ia menutup
segala celah negatif yang bisa jadi muncul dan diolah setan, yaitu menganggap
bahwa kenikmatan yang ia peroleh adalah karena kehebatan dirinya dalam berprestasi.
Setan sangat suka menggoda manusia dengan menanamkan sifat ’ujub atau bangga
diri bilamana baru meraih suatu keberhasilan atau kenikmatan. Manusia dibuat
lupa akan kehadiran Allah yang pada hakekatnya merupakan sumber sebenarnya dari
datangnya kenikmatan. Jika Allah tidak izinkan suatu kenikmatan sampai kepada
seseorang bagaimana mungkin orang tersebut akan pernah dapat menikmatinya?
Sebenarnya
dalam kehidupan di dunia kenikmatan Allah senantiasa tercurah kepada segenap
hamba-hambaNya. Bahkan jumlah nikmat yang diterima setiap orang selalu saja
jauh melebihi kemampuan orang itu untuk mensyukurinya. Jangankan kemampuan
bersyukur seseorang melebihi nikmat yang ia terima dari Allah, bahkan sebatas
mengimbanginya saja sudah tidak akan pernah sanggup. Maka, saudaraku, marilah
kita lazimkan diri untuk sering-sering mengucapkan kalimat tahmid, baik saat
kita menyadari datangnya nikmat maupun tidak.
·
Kedua,
saat merasa berada dalam kondisi rezeki sedang diperlambat.
Dalam kondisi
seperti ini seorang mukmin disuruh untuk banyak mengucapkan kalimat istighfar.
Kalimat istighfar berarti kalimat mengajukan permohonan agar Allah mengampuni
dosa-dosa kita. Nabi Hud menyuruh kaumnya untuk beristighfar dan menjamin bahwa
dengan melakukan hal itu, maka hujan deras bakal turun. Istilah ”hujan” di
dalam tradisi ajaran Islam seringkali bermakna rezeki. Sehingga kaitannya
menjadi sangat jelas. Orang yang sedang merasa rezekinya lambat atau seret
kemudian ia beristighfar, maka ia sedang berusaha mengundang turunnya hujan alias
rezeki dari Allah.
“Dan (Hud berkata): "Hai kaumku, mohonlah
ampun kepada Rabbmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan
yang sangat deras atasmu." (QS Hud ayat 52)
·
Ketiga,
kondisi sedang dilanda kesusahan dalam suatu masalah.
Menghadapi
kondisi seperti ini Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh seorang mukmin
untuk membaca kalimat Laa haula walaa quwwata illaa billaahil'aliyyil'adzhim.
Kalimat ini sungguh sarat makna yang bermuatan aqidah. Bayangkan, kalimat ini
bila diterjemahkan menjadi: Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Kalimat ini kembali
mengingatkan kita akan pentingya kemantapan iman Tauhid seorang mukmin. Begitu
si mukmin membaca kalimat tersebut dengan penuh pemahaman, penghayatan dan
keyakinan, maka saat itu juga jiwanya akan meninggi dan berusaha menggapai
kekuatan dan pertolongan Allah yang Maha Kuat lagi Maha Terpuji. Bila Allah
telah mengizinkan kekuatan dan pertolonganNya datang kepada seseorang, maka masalah
manakah yang tidak bakal sanggup diatasinya?
Oleh karena
itu, sekali lagi kami tegaskan, Islam sangat mencela sikap ketergantungan
seseorang kepada selain Allah saat menangani masalahnya. Hanya Allah tempat
bergantung, tempat kembali dan tempat memohon pertolongan. Hanya Allah tempat
kita ber-tawakkal. Malah seorang mukmin tidak boleh ber-tawakkal kepada dirinya
sendiri.
“Wahai Allah Yang Maha Hidup, wahai Allah Yang
Senantiasa Mengurusi, tidak ada tuhan selain Engkau, dengan rahmatMu aku
memohon pertolongan, perbaikilah keadaan diriku seluruhnya dan jangan Engkau
serahkan nasibku kepada diriku sendiri (walau) sekejap mata, tidak pula kepada
seorang manusiapun.” (HR Thabrani 445)