Rabu, 06 April 2011

KETIKA MUSIBAH MENIMPA

Tsunami, gempa bumi,angin puting beliung, tanah longsor maupun yang tak kunjung reda, banjir.Belum lagi musibah-musibah lain yang bersifat personal yang bisa menjadikan yang tertimpa putus asa berkepanjangan. Memang tak ada satupun manusia yang menginginkan tertimpa musibah. Tapi apa mau dikata, bila Allah menghendaki, tak satupun yang mampu menghindarinya.

Sebagai insan beriman, hendaknya kita dapat mensikapi musibah dengan lebih bijaksana. Kualitas keimanan seseorang mempunyai pengaruh besar dalam mensikapi datangnya musibah. Setidaknya ada lima sudut pandang manusia dalam mensikapi datangnya musibah :

Pertama,menghadapi musibah dengan sudut pandang memaafkan Disakiti, difitnah bahkan didlolimi orang lain bisa jadi musibah besar bagi seseorang.
Perasaan sulit memaafkan, rasa dendam yang membara dan berbagai macam perasaan negatif berkecamuk dalam hati. Kalau dibiarkan, pastilah tak kunjung usai. Kalau kita ingat janji Allah ‘ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi’ yang di antaranya dijanjikan bagi ‘orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain’
Semestinya kita mau belajar untuk memaafkan orang yang telah mendlolimi kita. Dengan demikian permasalahan lambat laun akan selesai.

Kedua, meghadapi musibah dengan sudut pandang bahwa sesuatu yang buruk adalah ketentuan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hadid 22 diterangkan bahwa setiap musibah sudah termaktub di Lauhul Mahfudz.
‘Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah’.
Menerima ketentuan Allah yang buruk sekalipun dengan hati ikhlas tanpa mengesampingkan ikhtiar akan menambah kedekatan kita kepada Allah SWT dan senantiasa bertawakal kepadaNya.

Ketiga, menerima musibah sebagai kafarah/penebus dosa. Musibah berkepanjangan akan menjadikan yang bersangkutan semakin dekat kepada Allah dan ibadahnya akan semakin meningkat. Demikian pula orang-orang yang ada di sekitarnya, diuji kesabaran dan ketabahannya untuk mendampingi. Sehingga kedekatan pada Allah ini akan meringankan dosa-dosa yang pernah diperbuat.
QS Asy-Syura 30 :
‘Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)’

Keempat, menerima musibah sebagai sarana evaluasi diri. Saat musibah menimpa merupakan moment paling tepat bagi kita untuk bermuhasabah, evaluasi diri terhadap perbuatan kita. Sudahkah kita menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya? Sudah pedulikah kita terhadap orang-orang sekitar kita yang membutuhkan?Apakah musibah ini sebagai teguran, ujian atau bahkan bagian dari adzab Allah karena perbuatan kita? Kalau itu teguran, hendaknya kita bersyukur masih diingatkan Allah untuk berbuat yang lebih baik sebelum ajal menjemput. Kalau itu ujian, berarti harus menerima dengan penuh kesabaran dan tawakal sepenuhnya kepadaNya.

Kalau itu bagian dari adzab, berarti kita harus taubat yang sebenar-benarnya untuk tidak mengulang perbuatan buruk kita di masa lalu dan berhijrah pada yang jauh lebih baik. Evaluasi diri ini akan memacu kita untuk berbuat lebih baik di masa yang akan datang, karena segala musibah yang menimpa kita merupakan akibat dari perbuatan kita sendiri. QS An-Nisa’ 79 :


‘Kebajikan apapun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah dan keburukan apapun yang menimpamu,itudari(kesalahan) dirimu sendiri…..’ Kelima, menerima musibah sebagai wujud dari kasih sayang Allah. Tidak semua musibah adalah keburukan. Sebagai bukti, banyak orang yang sudah melaksanakan perinah Allah dengan sebaik-baiknya dan menjauhi larangan-Nya, tapi masih saja tertimpa musibah. Ini merupakan wujud kasih sayang Allah, apakah dengan musibah yang menimpanya, masihkah dekat dengan Allah atau meninggalkan-Nya?(ah)

0 komentar:

Posting Komentar

FB