Setelah
sekularisasi kehidupan dari campur tangan agama, seluruh sudut
kehidupan yang menyangkut hubungan antar manusia dan hubungan manusia
dengan alam dibersihkan dari peran agama. Yang tersisa dari agama
tinggal hubungan individu manusia dengan tuhan-nya.
Sekularisasi memantik perubahan tatanan kemasyarakatan dari pola
komunal ke arah pola individual dengan semangat liberal dan pengagungan
terhadap kebebasan individu secara mutlak. Kadang-kadang bahkan sangat
ekstrem. Jangan heran jika di negara-negara yang menerapkan
sekularisme-liberal secara pure seperti negara-negara Skandinavia, di
ruang kuliah ketika dosen tengah menyampaikan kuliah di hadapan
mahasiswa, di belakang ada sepasang mahasiswa-mahasiswi yang bercumbu.
Pada kasus yang lain, ketika sepasang manusia bercumbu di rerumputan
taman di pusat kota, mereka tidak dipersalahkan karena perbuatan
asusila-nya, tetapi dituntut lantaran merusakkan rerumputan taman.
Jika hal itu kita teropong dengan pertimbangan syari’at dan akhlaq
sebagai alat ukur dan cara pandang, betapa asingnya tata nilai yang
meraka anut dengan tata-nilai Islam yang kita yakini. Kalau kita tidak
merasakan keasingan itu, berarti kita telah terkontaminasi debu-debu
sekularisme-liberal.
Tak ada tempat bagi manusia sekuler, penghargaan terhadap tampilan
kesalehan di ruang publik. Sebaliknya juga tak ada celaan bagi tampilan
ketidak-senonohan yang diperagakan di ruang publik sepanjang tidak
mengganggu orang lain dan tidak merusak lingkungan.
Konsekuensi Logis
Ketika kasus pornografi marak berhembus di tengah masyarakat, tentunya
dengan asumsi penyebaran kemesuman tersebut mayoritas melanda ummat
Islam berdasarkan logika karena mayoritas penduduk negara ini adalah
ummat Islam, tatkala akan diselesaikan dengan pendekatan hukum
mengalami kesulitan. Mengapa? Landasan hakiki hukum yang diterapkan di
masyarakat bekas jajahan Belanda ini adalah sistem hukum sekuler yang
kafir. Nafas hukum itu sendiri kufur. Jadi bagaimana mungkin akan
diharapkan untuk berpihak melindungi masyarakat Islam.
Sementara, jika hal itu ditilik dari sudut pandang hukum syari’at
pun, persoalan itu kesulitan untuk dipecahkan ; ketiadaan pengakuan,
kesulitan kesaksian jika dikenakan syarat persaksian hadd az-zina yang
mensyaratkan 4 [empat] saksi harus berada pada tingkat keyakinan tanpa
keraguan sama sekali menyaksikan kejadian itu sebagaimana mereka
menyaksikan timba masuk ke dalam sumur. Kesaksian itu juga tidak dapat
diwakili dengan gambar-gambar hasil pemotretan dari empat sudut pandang
atau lebih, tidak juga dapat diwakili dengan rekaman gambar hidup alias
video. Mengharapkan pengakuan dari para pelaku kemesuman tersebut
secara suka rela, hampir mustahil, karena pengakuan suka rela biasanya
disertai dengan kerelaan penerimaan hukum, pertobatan dilandasi harapan
untuk terbebas dari balasan di akherat dengan menjalani hukuman dunia.
Padahal tersebarnya gambar tersebut di tengah masyarakat merupakan
serbuan dekadensi akhlaq yang tidak lagi tertutup [sirri] tetapi sudah
terbuka dan terang-terangan [‘alaniyah]. Tindakan yang mengundang
datangnya murka Allah secara umum, tak sekadar menimpa pelaku [yang
mungkin mungkir] oknum yang menyebarkannya, atau yang mengunduhnya di
internet. Bahkan masyarakat yang tidak tahu-menahu ujung-pangkal
kemesuman itupun terancam terkena bencana yang ditimbulkan. Untuk
melindungi masyarakat awam yang tidak menginginkan dekadensi moral itu,
juga tak ada payung hukum yang jelas dan tegas. Perdebatan soal itu tak
pernah menyentuh esensi persoalan yang menjamin masalah tersebut tidak
terulang. Ya! Memang menyedihkan hidup di bawah sistem sekuler-kufur
bagi seorang muslim yang masih memiliki kecemburuan terhadap agamanya.
Persoalannya, hal itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah
pilihan. Ketika suatu masyarakat memilih jalan hidup bagi komunitasnya,
pengambilan itu berlaku dari hulu sampai hilir. Tidak bisa dan tidak
logis ketika kita mengambil pilihan sekularisme kehidupan dari peran
agama, sementara kita menolak konsekuensi logis yang ditimbulkan dan
menyumpah-nyumpah terhadap akibat buruknya.
Urutan Logis Proses Kesejarahan
Di Eropa, setelah sekularisasi kehidupan dari peran agama, spirit
masyarakat komunal yang merupakan ciri abad pertengahan di Eropa,
berubah secara drastis ke arah kehidupan masyarakat yang bercirikan
semangat individualisme dengan pengakuan terhadap hak-hak pribadi
secara mutlak. Kebebasan memilih agama, kebebasan untuk memilih antara
beragama atau tidak beragama, kebebasan dalam berpendapat, kebebasan
dalam kepemilikan, kebebasan dalam ekspresi seni dan lain-lain, seluruh
segi kehidupan berubah.
Kebebasan dalam bidang ekonomi mendorong tumbuhnya pemupukan modal
di tangan orang-orang kaya pemilik modal, sementara sebagian besar
masyarakat merupakan kelompok buruh yang tidak memiliki kesempatan
untuk memiliki modal dan mengembangkannya. Dari proses perubahan ini,
tumbuhlah di tengah masyarakat sekelompok kecil manusia yang mengontrol
modal dan faktor-faktor produksi sehingga semakin kaya, di tangannya
ter-akulmulasi kekayaan luar biasa. Small group yang kekayaannya terus
membesar, setiap perputaran harta terus menggelembungkan kekayaannya
seperti bola salju.
Mereka inilah sebagian kecil manusia yang merupakan produk lanjut
sekularisme-liberal, kehidupannya terlepas dari kendali moralitas
agama, disemangati oleh kebebasan, di tangannya tersedia harta kekayaan
yang terus membesar. Tak ada konsep kebahagiaan di akherat yang
dengannya mereka melakukan investasi dan saving bagi kehidupannya
mendatang dengan kekayaan berlimpah itu. Jika mereka mengulurkan tangan
untuk berbagi dengan orang-orang miskin, pertimbangannya sebatas
tanggung jawab sosial, tak lebih. Bukan karena ingin memetik balasan
yang lebih besar di akherat nanti, karena mereka skeptis terhadap
adanya hari akhir atau bahkan mengingkarinya.
Karena tak ada konsep kebahagiaan hidup sesudah mati yang mereka
yakini, tentu saja orientasi hidup mereka adalah menikmati harta
kekayaan tersebut sepuas-puasnya di tempat ini [baca di dunia]
secepat-cepatnya. Jika hal itu tidak mereka lakukan, mereka khawatir
kehilangan waktu untuk menikmatinya dan akhirnya kesempatan itu hilang.
Inilah yang terungkap dengan pepatah mereka yang terkenal, Nikmati
bunga tersebut sepuas-puasnya hari ini, karena besok pagi bunga itu
akan layu. Pandangan hidup seperti ini disinyalir oleh Allah di dalam
firman-Nya :
Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), hidup hanyalah kehidupan kita
di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” [Al-An’aam
: 29]
Gaya Hidup Hedonis
Menikmati dunia sepuasnya, setelah kunci-kunci kekayaan itu dibuka oleh
Allah memang lebih ditakutkan oleh RasululLah shallalLaahu’alayhi wa
sallam dibandingkan belitan kefakiran. Dalam salah satu makna sabda
Beliau :
“Bukan kefaqiran yang aku takutkan menimpa kamu sekalian, akan tetapi
yang lebih aku takutkan adalah ketika dihamparkannya kekayaan dunia
terhadap kamu sekalian, kemudian kalian menikmati dunia itu
sepuas-puasnya, kemudian kalian dihancurkan oleh Allah sebagaimana
orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan [HR Bukhari-Muslim].
Hedonisme merupakan tubir jurang paling tepi dari tahapan kehancuran
jalan hidup materialisme. Kota Pompeei dan penduduknya yang dikubur
oleh Allah lengkap dengan ekspresi mereka tatkala adzab datang dengan
tiba-tiba, merupakan monumen peringatan bagi penempuh jalan ini jika
mau mengambil pelajaran. (arrisalah.net)